Kamis, 21 Mei 2009

Korban Kelalaian Negara



MUSIBAH itu datang lagi. Pesawat Hercules milik Tentara Nasional Indonesia Angkatan Udara (TNI AU) jatuh di Magetan Jawa Timur. Pesawat yang mengangkut 98 penumpang dan 13 awak itu sempat menabrak rumah penduduk sebelum akhirnya jatuh dan terbakar. Seminggu sebelumnya, pesawat sejenis yang dioperasikan TNI, terperosok di Wamena.

Dua insiden itu menambah panjang daftar kecelakaan pesawat milik TNI. April lalu, sebuah pesawat Fokker 27 TNI AU meledak setelah jatuh menimpa hangar PT Dirgantara Indonesia (PT DI) di sisi Bandara Husein Sastranegara Bandung.

Musibah di Magetan kemarin merupakan yang terbesar menimpa keluarga besar TNI dalam dasawarsa terakhir. Awal 1990-an sebuah Hercules yang mengangkut Pasukan Khas (Paskhas) TNI AU jatuh di Jakarta dan menewaskan seluruh penumpangnya.

Hercules adalah jenis pesawat terbang yang handal dan banyak digunakan militer berbagai negara di dunia. Mampu lepas landas dan mendarat dari landas pacu yang pendek, bahkan landas pacu darurat.

Karena keampuhannya itu, banyak digunakan untuk angkutan barang, pengamatan cuaca, rumah sakit terbang, bahkan tanker bahan bakar udara.

Sejak pertama kali dibuat tahun 1954 oleh Lockheed, pabrik pesawat di Burbank, California, Amerika Serikat, tak kurang 40 model Hercules dibuat dan dipasarkan. Hercules tipe C-130 sebagaimana yang dimiliki TNI AU adalah pesawat favorit untuk kepentingan militer. Tak kurang dari 2000 C-130 telah dibuat dan dioperasikan, termasuk di Indonesia.

Timbul pertanyaan, jika melihat ‘reputasi’ pesawat jenis itu di medan tempur dan di medan yang sulit, mengapa di Tanah Air kita justru termasuk yang paling sering mengalami masalah? Benarkah pesawat tangguh yang disiapkan untuk menjaga negara ini banyak yang rapuh karena tidak dirawat secara memadai?

Sesaat setelah insiden Madiun, Presiden sebagai Panglima Tertinggi TNI menyatakan, negara tidak pernah mengurangi anggaran perawatan infrastruktur militer. Yang terjadi adalah menunda pembelian alat baru.

Di lapangan, fakta menunjukkan sejumlah pesawat tempur kita sudah uzur. Misalnya, Bronco OV-10, bikinan 1976 yang dioperasikan TNI sejak 1979, kini hanya empat --dari sembilan unit-- yang bisa disebut layak terbang.

Kondisi kesiapan pesawat tempur di bawah standar juga terjadi atas Hawk MK-53 buatan 1977. Dari delapan unit yang ada, hanya dua yang laik terbang. Selain itu, sejumlah pesawat angkut Fokker 27 buatan 1975, dari tujuh yang ada hanya empat yang siap terbang.

Tanah Air kita merupakan negara yang sangat luas, kepulauan, dan memiliki garis pantai terpanjang. Kondisi itu menuntut perlindungan yang maksimum. Dengan anggaran yang minim, alat utama sistem pertahanan akan lemah, dampaknya pertahanan tidak lagi memadai, yang berarti ancaman jadi jauh lebih besar.

Insiden telah terjadi, dan tentu saja tak satu pun di antara kita yang ingin hal itu terjadi lagi. Yang diharapkan justru sebaliknya, yakni pemerintah betul-betul memperhatikan secara serius persoalan tersebut, karena masalahnya tidak semata pada ketiadaan anggaran, melainkan pada niat dan kemauan untuk membangun kekuatan pertahanan yang memadai.

Dan yang terpenting lagi, peristiwa di atas hendaknya benar-benar jadi pemicu yang menyadarkan petinggi negara dari keterlenaannya selama ini. Pertahanan dan segala unsurnya selalu dijadikan komoditas politik dan perang retorik. Tak selayaknya prajurit gugur akibat kelalaian negara dalam mengelola dan menjalankan sistem pertahanannya.**

Tidak ada komentar:

Posting Komentar